Indonesia memiliki bahasa daerah terbesar kedua di dunia setelah Papua Nugini. Tidak semua bahasa ini dituturkan oleh banyak orang, bahkan dalam satuan suku atau budaya terkecil, bahasa ini terancam punah, seperti bahasa Bonedaa (Bonda) di Gorontalo. Padahal menurut ahli bahasa jika tidak didukung dipastikan bahasa tersebut akan punah.
Bahasa Bonda biasa orang Suwawa menyebutnya, atau bahasa Bune jika yang menyebut orang Gorontalo, merupakan salah satu bahasa yang terancam punah. Bahasa ini hanya digunakan oleh sebagian masyarakat yang mendiami daerah Suwawa, Bone Bolango, itupun hanya sebagian saja yang mampu menuturkan dengan baik.
Bukan tidak mungkin jika masyarakat dan pemerintah tidak serius, bahasa tertua di Gorontalo ini akan mengikuti bahasa Bolango, yang sudah lama punah, akibat ditinggalkan penuturnya.
Beberapa desa di Suwawa terutama yang bagian timur, masyarakatnya masih dengan pasih menggunakan bahasa Bonda. Kebiasaan ini juga bercampur dengan bahasa Gorontalo dan juga bahasa Indonesia.
Bahasa Bonda berkembang tidak lepas dari wilayah lingkungan masyarakatnya, sekitar hutan yang sekarang di berada di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Bahasa ini merupakan salah satu keanekaragaman budaya Gorontalo yang bernilai tinggi. Apalagi penelitian tentang bahasa ini belum banyak dilakukan.
Keengganan menggunakan dalam percakapan sehari-hari oleh masyarakat, bisa berdampak signifikan pada proses kepunahannya. Keluarga merupakan basis pengenalan bahasa Bonda yang efektif, melalui orang tua bahasa ini dikenalkan pada anak-anaknya melalui komunikasi sehari-hari.
Tanda-tanda kearah itu sudah mulai nampak. Generasi muda, terutama anak-anak sudah tidak dibiasakan menggunakan bahasa Bonda dalam komunikasi setiap harinya. Kengganan menggunakan bahasa ini oleh anak muda salah satunya adalah tidak ingin dicap sebagai orang kampungan dan udik.
Penekanan saat pengucapan bahasa Bonda yang berbeda dengan bahasa Gorontalo sering mengundang senyum orang lain yang tidak memahaminya, tidak jarang penuturnya merasa kecil di depan bahasa mainstream di daerah ini.
Semakin terpinggirnya kekayaan budaya ini juga ditengarai semakin agresifnya media, terutama televisi dan radio, yang lebih memberi ruang pada bahasa gaul.
Penutur muda bahasa Bonda juga seringkali menemukan bahwa bahasa mereka dipandang rendah karena bahasanya. Misalnya ketika dengan sopan dan dalam dialek sehari-hari, seseorang yang berasal dari bahasa Bonda mengucapkan, "somo pulang kami," yang berarti bahwa orang tersebut hendak pamit pulang, namun karena penggunaan kata "kami" (banyak/lebih dari satu orang), seringkali ditanyakan "kami barapa?," (berapa orang yang hendak pulang).
So, untuk menjaga bahasa yang merupakan bahasa nenek moyang kita, merupakan tanggung jawab kita bersama, terutama bagi kaula muda. Mari jaga dan lestarikan bahasa daerah kita.
Bahasa daerah harus dipertahankan karena merupakan salah satu kekayaan dan identitas dari bangsa Indonesia. Sebuah bangsa akan jatuh jika budayanya tidak kuat, kalau sudah seperti itu, terpaksa kita mengadopsi budaya orang lain.
Salah satu memperkuat budaya kita yaitu dengan mempertahankan bahasa daerah.