Menggugat Moralitas Pemimpin Gorontalo



Berkaca dari beberapa persoalan yang menimpa para elit politik di Gorontalo akhir-akhir ini, maka sebagai rakyatnya kita mesti mulai memikirkan gugatan terhadap cara pemimpin kita dalam 'menghayati' falsafah daerah ini. Semboyan yang telah lama beranak-pinang dalam hati seluruh rakyat Gorontalo. Ya, falsafah "adat bersendikan syara', dan Syara' bersendikan Kitabullah".

Sebut saja Gubernur Gorontalo Rusli Habibie dengan persoalan dugaan pencemaran nama baik, dan Fadel Mohamad dengan kasus dugaan penipuan 6 Milyar sebagaimana yg dilansir Metro tv lewat pemberitaannya pekan ini. Memang keduanya sama-sama belum menyandang status tersangka, namun paling tidak, pemberitaan tersebut telah menjadi aib yang tak henti dikonsumsi khalayak. Gambaran seluruh rakyat Gorontalo terlukis dari perilaku dan sikap para pemimpin daerah ini. Di titik inilah kita patut bersedih.

Apa yang salah dengan cara elit politik kita ketika 'menghayati' nilai adat yang bersendikan kitabullah (Al qur'an) ? Bila menelisik lebih dalam lagi maka seharusnya para politisi daerah ini tidak boleh jauh dari nilai-nilai yang disyareatkan oleh Al Qur'an baik tutur kata maupun sikap dan perbuatannya. Al quran adalah sumber dari nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam adat dan budaya kita.

Seharusnya Pemimpin Gorontalo kedepan adalah orang yang mampu memahami isi dan makna Alquran agar ia tidak terjerat oleh kesalahan yang membuatnya jauh dari nilai-nilai adat yang sejak dahulu menjadi pegangan para pemimpin pendahulu daerah ini. Bagaimana bisa seseorang dapat mengamalkan tata cara memimpin yang diamanatkan oleh Alqur'an sedang ia sama sekali tidak memahami isi dan makna Alqur'an tersebut ?

Jika Al Qur'an cuma sekedar dibaca tanpa ada pemahaman dan perenungan (tadabbur), maka itu bisa pula dilakukan oleh orang fajir (ahli maksiat) dan munafik, di samping dilakukan oleh pelaku kebaikan dan orang beriman. Sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Permisalan orang munafik yang membaca Al Qur'an adalah seperti buah rayhanah. Bau buah tersebut enak, namun rasanya pahit." (HR. Bukhari dan Muslim).

Bila para pemimpin daerah ini dapat memahami Alqur'an secara benar pasti mereka juga mampu mengamalkan isinya. Mereka akan paham lalu mengamalkan bahwa kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan empatinya dalam melayani masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim, sombong, menganggap dialah yang paling hebat, dan sewenang-wenang.





Oleh: Ramli Ibrahim