Mengintip Semaraknya Tradisi Tumbilotohe di Gorontalo



Festival Tumbilotohe yang menjadi tradisi umat Islam di Gorontalo jelang Idul Fitri secara resmi dimulai pada H-3 Lebaran kali ini, atau Senin (13/7). Ribuan lampu-lampu tradisional dipajang dirumah,  pinggir jalan, dihamparan sawah, tanah lapang dan bantaran sungai.

Lentera-lentera dipasang dan disusun dengan berbagai formasi membentuk gambar masjid, kitab suci Alquran, dan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona. Tradisi tumbilitohe ini makin menarik ketika warga Gorontalo mulai membunyikan meriam bambu atau atraksi bunggo dan festival bedug.

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Gorontalo, setiap malam 27 Ramadhan selama tiga malam melaksanakan tumbilotohe. Tradisi ini berlangsung sejak Islam masuk ke Gorontalo dan terus berkembang dan dipertahankan sampai dengan saat ini.

Untuk melestarikan tradisi ini setiap tahun dilaksanakan Festival Tumbilotohe.  Pemerintah Provinsi serta Kabupaten Kota, masing-masing menggelar kegiatan semarak Tumbilotohe. Untuk lebih menyemarakan, pemerintah daerah menggelar Festival Bedug yang dilangsungkan di Rumah Dinas Gubernur Gorontalo.

Pantauan Portalgorontalo.net, sejumlah lokasi yang menjadi pusat kegiatan Tumbilotohe ramai dikunjungi masyarakat yang ingin menyaksikan lampu-lampu tradisional seperti di Lapangan Taruna Remaja, ruas jalan tanggidaa kelurahan Moodu, Eks Terminal Telaga, bantaran Sungai Bone,, jembatan Talumolo, dan tempat-tempat lain di seluruh Gorontalo.

Tumbilotohe sendiri sudah menjadi tradisi di daerah berjuluk Serambi Madinah ini sejak abad ke-15. Tradisi ini dilakukan untuk menandai berakhirnya bulan suci Ramadan. Selama tiga malam terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri tradisi ini dilakukan. Pemasangan lampu telah dimulai sejak maghrib hingga menjelang subuh.

Awalnya, alat penerangan baru terbuat dari wamuta atau selundang yang telah diruncingkan, yang disebut masyarakat sebagai wango-wango. Tahun-tahun berikutnya alat penerangan berubah menggunakan tohetutu atau damar yang akan menyala cukup lama ketika dibakar.

Seiring berkembangnya zaman, alat penerangan yang digunakan terus berubah. Kini alat penerangan yang digunakan berupa lampu berbahan bakar minyak tanah. Namun semenjak pemerintah mencabut subsisdi minyak tanah, sebagian masyarakat Gorontalo mulai beralih ke lampu hias (lampu listrik).


Laporan: Agus Tanggo/ Syam Indigo - Kota Gorontalo
Editor: Syam Indigo