Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang raja yang bijaksana yang memimpin kerajaan Tuwawa (Pinogu sekarang). Para tetua sering menyebutnya Bangiyo. Alhasil raja ini memiliki 2 orang putra yang sangat berbeda perangainya. Mooduto sangat baik dan santun sedangkan saudaranya Moodulio memiliki sikap yang tidak terpuji. Baik Mooduto maupun Moodulio sama-sama memiliki kesaktian yang terbilangcukup sebagai anak raja.
Sepeninggal ayahnya, Mooduto dan Moodulio bersikeras untuk menjadi penggantinya memimpin kerajaan Tuwawa/Bangiyo. Karena percekcokan ini tidak ada ujungnya, maka para petinggi kerajaan mencari jalan keluar terbaik. Oleh para petinggi tersebut diadakan semacam sayembara kepada keduanya yang penilaiannya diserahkan kepada para orang-orang bijak di negeri itu. Sayembaranya adalah peserta diharuskan mengambil dua batang tebu yang sama panjang bersama alat pengupasnya.
Lalu keduanya diharuskan mengupasnya dihadapan para juri. Alhasil, Mooduto dan Moodulio melaksanakan sayembara tersebut. Pertama-tama keduanya mengambil 2 batang tebu yang sama panjang masing-masing mendapat satu batang. Selanjutnya keduanya mulai mengupas batang tebu tersebut dihadapan para juri dan disaksikan oleh seluruh rakyat. Moodulio mengupas tebu itu mulai dari pangkal hingga ke ujung, sebaliknya Mooduto mengupasnya mulai dari ujung tebu hingga ke pangkalnya.
Melihat hal ini para juri memutuskan bahwa yang berhak mewarisi tahta kerajaan Tuwawa/Bangiyo adalah Mooduto. Tidak jelas apa makna filosofis yang terkandung di dalam sayembara tersebut sehingga para juri yang termasuk sesepuh di negeri itu, memilih Mooduto sebagai raja.
Keputusan para juri tersebut membuat Moodulio merasa malu karena ia dinilai tidak pantas memimpin kerajaan Bangiyo. Oleh karena itu Moodulio memilih merantau untuk meninggalkan Bangiyo menuju negeri seberang, Bolaang Mongondow.
Setelah Mooduto terangkat menjadi raja di negeri Bangiyo, rakyat hidup makmur dan damai di bawah pemerintahannya. Pada waktu itu pula raja Mooduto mengangkat seorang punggawa kerajaan (semacam panglima perang) bernama Pogambango. Konon kabarnya Pogambango dianggap memiliki tubuh tinggi besar dengan lebar dada sebesar tujuh jengkal orang dewasa. Bayangkan saja seseorang dengan lebar dada sebesar itu, tentunya diimbangi oleh perawakannya juga yang tinggi besar (raksasa). Namun ternyata bukan cuma tubuhnya saja yang besar, Pogambango juga memiliki kesaktian yang tidak ada tandingannya kala itu.
Pogambango ini sehari-harinya bekerja membuat gula batu (gula merah istilah orang Suwawa). Proses pembuatan gula batu oleh Pogambango ini terbilang cukup aneh yaitu ia melakukannya di tiga tempat. Pertama ia mengambil tuak/saguer (sebagai bahan dasar pembuatan gula batu) di wilayah Atinggola (Di kab. Gorontalo Utara sekarang). Kemudian memasaknya di Gunung Potong, gunung yang terletak di jalan pendek di Taman Nasional Nani Wartabone sekarang yang sebagai tempat peristirahatan kala orang-orang pejalan kaki dari-ke Pinogu.
Selanjutnya Pogambango membawa hasilnya ke Taludaa untuk dijual pada masyarakat di sana namun tentu saja dengan mengubah dirinya menjadi kecil. Konon dalam perjalanan dari Atinggola-Gunung Potong-Taludaa hanya dalam 3 langkahnya si Pogambango ini. Marilah kita beralih pada si Moodulio. Moodulio merantau menuju negeri seberang yang berbatasan langsung dengan Bangiyo, yaitu Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara).
Sesampainya di Bolmong Moodulio memperlihatkan kesaktiannya kepada masyarakat di daerah tersebut. Dia dapat terbang ke atas ke bawah menggunakan alat pemotong bambu. Bertepatan dengan kedatangan Moodulio, kerajaan Bolmong sementara mengalami kekosongan kursi kekuasaan. Oleh karena itu diadakanlah sayembara besar-besaran kepada siapa saja yang dapat menemukan setangkai mawar merah di kerajaan tersebut akan diangkat menjadi raja. Alhasil berlomba-lombalah mayarakat di wilayah itu untuk menemukan mawar tersebut tidak ketinggalan si Moodulio.
Dengan kesaktian yang dimilikinya maka Moodulio dapat dengan mudah menemukan mawar tersebut tepat di perbatasan antara Bangiyo dengan Bolmong. Dengan demikian maka diangkatlah Moodulio sebagai raja Bolmong kala itu. Konon masyarakat setepat mempercayai bahwa mawar itu masih ada sampai sekarang.
Sekali lagi tidak jelas apa makna filosofis di balik sayembara ini. Tapi yang jelas telah berdiri dua kerajaan yang dipimpin oleh dua bersaudara yang berbeda perangainya. Karena sifat serakah dan iri hatinya terhadap kerajaan Bangiyo yang memang telah makmur serta di dorong oleh rasa dendam terhadap saudaranya sendiri, Mooduto, maka raja Moodulio berniat mengambil Bangiyo menjadi bagian dari kerajaannya.
Walhasil, sang raja pun mengumpulkan empat punggawanya yang terkenal sakti masing-masing bernama: Adahati, Hikah, Lambeuna dan Puluambala. Keempatnya ditunjuk untuk menjalankan misi sang raja tersebut dengan membawa anak buah sebanyak 40 orang.
Dikisahkan keempat punggawa beserta empat puluh orang anak buahnya mengarungi lautan dan hutan belantara untuk menuju ke kerajaan Bangiyo. Selama perjalanan tersebut mereka mengumpulkan tumbuh-tumbuhan yang dibungkus dalam 2 buah pundi-pundi yang apabila tumbuhan tersebut dibakar dan asapnya terhirup oleh musuh maka musuh tersebut akan saling membunuh satu sama lainnya.
Alhasil menurut legenda dalam perjalanan itu mereka mengalami berbagai macam rintangan sehingga seluruh anak buah para punggawa itu tewas dalam perjalanan. Yang tersisa hanya keempat punggawa yamg memang terkenal sakti mandraguna. Dalam perjalanan di laut mereka berlabuh di Taludaa (sekarang Bone Pantai). (Baca: Ingin Dapatkan HAKI, Kopi Pinogu Resmi Didaftarkan ke Kemenkumham )
Tak lama berselang mereka sampai di sungai Moinito yang merupakan salah satu sungai di kerajaan Bangiyo. Mereka mendirikan kemah di dekat sungai tersebut untuk beristirahat dan membicarakan penyerangan ke kerajaan Bangiyo. Kemudian mereka sepakat untuk mulai membakar isi salah satu pundi-pundi dan dengan kesaktian mereka mengarahkan asapnya ke penduduk di kerajaan Bangiyo.
Setelah menghirup aspa dari pundi-pundi yang dibakar oleh para punggawa tersebut maka para penduduk pun mulai saling membunuh satu sama lain, ayah membunuh anak dan istri, kakak membunuh adik dan seterusnya hingga habislah penduduk di kerajaan Bangiyo tersebut. Konon perkelahian antar saudara ini membuat tanah kerajaan Bangiyo berwarna merah. Dan darah para penduduk itu dipercaya mengalir membentuk anak sungai yang saat ini disebut sungai Nopodugu (Indonesia: dugu = darah). Dalam bahasa Tuwawa asli disebut “Giania Nopodugu”. Sejak perkelahian tersebut Bangiyo disebut sebagai Pinogumbala (tempat perkelahian) yang dipendekkan menjadi Pinogu.
Sumber : ayah dari penulis, Gaharu Rasadingi (63 tahun). Bapak Gaharu Rasadingi mendapatkannya dari Yamin Nadjamuddin (77 tahun) dan Lakihula Sahihu (77 tahun) sejak beliau masih duduk di kelas 3 SR (Sekolah Rakyat). Bapak Yamin Nadjamuddin (Opa Nerda) ini merupakan mantan kepala desa Pinogu periode 1994-1999. Sedangkan Bapak Lakihula Sahihu merupakan imam besar/sesepuh di desa Pinogu sekarang.