Selain permodalan dan popularitas, ada 4 unsur lainnya dan merupakan unsur utama yang menyertai sebuah pemilu;
- Pertama kontestan itu sendiri,
- Kedua masyarakat pemilih,
- Ketiga lawan/ tandingan dan
- Keempat adalah KPU atau sang pengumpul suara.
Percaya atau tidak tapi 'tool' berupa kemuliaan agama (tauladan yang baik dan ceramah-ceramah atau khotbah) justru kontra produktif jika digunakan dalam pemilu2. Reaksinya biasanya justru cibiran dan dianggap tak punya modal. Padahal minimnya modal dapat dikompensasi dengan banyak cara.
Menggunakan isu agama justru membuat lawan bersiul-siul merasa unggul karena umumnya peserta pemilu itu syaithon yang menggunakan trik n intrik 'gak mengenal kata harom'. Jadi ketika semua lawan berjibaku dengan koar-koar kebohongan, sebar fitnah dan membeli suara, maka itu tak akan bisa ditangkal dengan mengelus dada sambil berkata "sabaaar, semoga Allah memberi mereka (lawan-lawanku) kesadaran" atau "biar sajalah hanya Tuhan yang tahu".
Lawan! Lawanlah! Sebaiknya setiap kontestan sanggup mengikuti aturan konvensional ini.
Kalau memang tak berniat ikut-ikutan menjadi syaithon, maka perkuatlah 'antibody'. Buatkan 'anti-serum' yang kuat yang dapat menangkal ataupun menetralisir semua serangan, diawali dengan staffing yang jitu.
Staffing atau casting adalah menempatkan orang-orang atau mesin yasng tepat di setiap lini. Orang-orang ini mampu membuat target dan strategi tertulis dalam bentuk 'Kalender Kerja Pemenangan'.
Strategi menentukan 80% pemenangan, tapi yg paling penting adalah sang icon tak lagi me-nyepelehkan sebutir pasir, karena sebutir pasir dapat menyakitkan mata alias menggagalkan misi.
Dalam salemanship, jika seorang salesman mampu membenci 1 pelanggan yang cerewet atau banyak komplain maka si salesman itu cenderung sanggup membenci semua pelanggan. Lalu kepada siapa lagi kau akan menjual daganganmu?
Oleh: Ferry Fega
Editor: Syam Indigo