Ungkapan ini mungkin bisa mewakili peristiwa pasca diketuknya palu tanda disetujuinya usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (P2DP) atau lebih dikenal dengan Dana Aspirasi.
Jika pemerintah menyetujui, maka nantinya setiap anggota DPR akan mendapat jatah “pengelolaan” dana hingga Rp20 miliar per anggota. Dengan jumlah anggota DPR 560 orang, maka anggaran yang akan dihabiskan mencapai lebih dari Rp11 triliun.
Selama ini, setiap anggota DPR memperoleh dana penyerapan aspirasi Rp 31,5 juta per tiga bulan. Artinya, jika disetujui, maka jumlah uang yang dikelola setiap anggota DPR melonjak lebih dari 150 kali lipat. Secara matematis hitung-hitungannya cukup 'mengerikan'!
Secara kasat mata kita bisa melihat perdebatan yang panjang baik diruang sidang maupun ditengah masyarakat beberapa saat setelah program ini diusulkan. Namun fakta di lapangan ada perbedaan yang bisa dibaca dengan jelas, jika ditengah masyarakat opini terbagi dua antara yang menolak dan nenerima maka di Senayan terbentuk dua kubu yaitu yang mengusulkan/menyetujui dan yang 'pura-pura' menolak. Aromanya masih berbau KMP-KIH, Partai Penguasa melawan oposisi.
Yang namanya pura-pura menolak jalannya sidang tentu saja berbeda dengan sebelum2nya, tidak ada aksi walk out, menyembunyikan palu sidang atau ngamuk-ngamuk sampai membalikkan meja meskipun kelihatannya perdebatan cukup alot.
Di media pun demikian, para pengusung usulan ini berusaha keras meyakinkan masyarakat betapa pentingnya dana ini sementara kubu penolak berakting layaknya aktor film dengan tujuan jelas : Pencitraan!
Endingnya pasti tidak berbeda dengan kisah HC Andersen, sang pangeran menikah dengan putri raja, dana ini akan diterima oleh kedua belah pihak dengan senyum yang berusaha disembunyikan.
Akan dikemanakan kemudian anggaran ini?
Sampai tulisan ini dibuat belum ada anggota DPR yang bisa menjelaskan ke publik. Yang jelas saat ini proposal-proposal mulai diketik dan dalam hitungan hari akan makin menumpuk dimeja legislator yang terhormat. Karena meskipun uangnya dititipkan lewat APBN tentu saja DPR punya hak prerogatif menentukan destinasi akhirnya. Namanya juga Pembangunan Daerah Pemilihan, yang memilih menunggu dengan harap-harap senang dan yang 'salah pilih' silahkan gigit jari.
Bagaimanapun palu sudah jatuh di meja sidang, dan Presiden pun hampir tidak punya alasan untuk menolak, mudah2an tidak akan lagi terlontar kalimat 'bukan urusan saya', karena ini 100 % domain legislatif. Pihak terkait harus segera menyiapkan instrumennya, payung hukum harus segera disusun, mekanisme kontrol wajib diperketat, peruntukannya jangan lagi salah alamat.
Harapan rakyat cuma satu : "Durian ini bisa dinikmati bersama!"
Oleh: Iqbal Makmur