Sulam Karawo yang menjadi ciri khas pakaian Gorontalo sudah ada sejak abad 17, awalnya dilakukan oleh perempuan di daerah Ayula, yang saat itu berada di bawah pengaruh kerajaan Bulango, sekarang berada di provinsi Gorontalo.
Para perempuan menjelang masa dewasa diberikan kesibukannya untuk membuat sulam karawo, tradisi ini kemudian berlanjut untuk mereka yang dipingit menjelang pernikahannya.
Karawo atau kerawang adalah sulam khas yang hanya ada di Gorontalo, cara pembuatannya memerlukan ketelitian luar biasa, tidak hanya butuh kesabaran saja. Satu demi satu serat kain dipotong, tidak boleh ada kesalahan, apalagi untuk selembar sutera yang berharga mahal.
Kain karawo yang terpajang di salah satu toko pakaian di Gorontalo |
Pemotongan ini menghasilkan serat kain yang jarang, terhitung dan terukur antara yang horizontal dan vertical, sebelum aneka warna benang disulam.
Hasil sulaman ini pada awal perkebangannya hanya untuk keperluan pribadi sang pengrajin, selembar kain yang motif yang sederhana, bisa bentuk-bentuk geometri dan dedaunan.
Bertahun-tahun karawo hidup tanpa perkembangan yang berarti, motif yang sederhana, jenis kain yang terbatas, dan penggunaan yang ala kadarnya.
Sulam ini karawo tetap bertahan karena masih memiliki fungsi sosial yang dibutuhkan masyarakat. Fungsi-fungsi kemasyarakatan inilah yang kemudian diadopsi dan menyebar ke daerah lain sekitar Ayula.
Dalam perkembangannya, sulaman ini kemudian dimanfaatkan untuk menghiasi baju koko yang lazim dikenakan kaum pria ke masjid atau acara keagamaan dan kematian. Karawo dengan motif sederhana juga menghiasi taplak dan sapu tangan (lenso).
Dirasakan memiliki nilai ekonomi yang tinggi, pada masa selanjutnya sulam karawo diperdagangkan dalam pasar yang terbatas, masyarakat sekitar pengrajin. Lambat laun pedagang desa ini menawarkan ke pasar yang lebih luas dengan motif meningkatkan omset penjualan.
Dalam perdagangan karawo tidak ada upaya untuk menjelaskan asal muasal, proses produksi dan sejarah sulaman ini. Padahal nilai jual sulaman ini juga sangat ditentukan oleh nilai sosialnya juga.
Nilai jual karawo tidak semata pada kandungan materi yang melekat pada selembar kain. Dan ini berjalan bertahun-tahun tanpa ada upaya untuk menghargai lebih baik lagi.
Kerajinan karawo barulah mulai terdengar dan dikenali publik secara luas pada tahun 2006, saat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan Hak Paten tentang Sulam Karawo sebagai kerajinan milik masyarakat Gorontalo.
Plakat hak paten ini disampaikan saat Sidang Paripurna Istimewa DPRD Provinsi Gorontalo memperingati HUT Provinsi Gorontalo, 16 Februari 2006.
Dari berbagai survey, termasuk survey yang dilakukan Bank Indonesia di Gorontalo menunjukkan sulam karawo sudah menjadi kebanggaan masyarakat, namun sayangnya tidak banyak yang memilikinya.
Sulam karawo sebagai warisan budaya Gorontalo patut dilestarikan, tidak saja memiliki nilai ekonomi, juga memiliki nilai sosial yang tinggi.
Di Gorontalo, karawo saat ini ada dua jenis. Ada sulaman karawo biasa dan sulaman karawo ikat. Biasanya harga karawo ikat lebih mahal.
Sebenarnya sudah jarang masyarakat yang melakukan kegiatan sulam karawo di Gorontalo. Untuk itulah pemerintah daerah sedang berusaha memicu masyarakat, terutama para pengrajin untuk melestarikan warisan budaya yang telah ada.
Salah satu cara yakni dengan menggelar fdestival. Namanya Festival Karawo. Festival yang biasanya digelar pada akhir tahun ini berbentuk karnaval. Akan ada orang-orang yang memakai baju-baju berbagai model yang diaplikasikan kain karawo.
Salah satu model sedang mengenakan kain sulaman karawo |
Selain itu, ada juga parade menyulam, lomba foto karawo, sampai lomba motif karawo. Berkat adanya festival ini, masyarakat jadi kembali bersemangat membuat dan berkreasi dengan karawo. Bahkan untuk lenih menarik, karawo mulai dikombinasikan dengan batik.
Festival karawo ini juga nantinya akan ada dalam Festival Boalemo yang merupakan rentetan acara Sail Tomini 2015 pada 10 September 2015 mendatang.